Budaya,(metropantura.com)Tradisi ruwatan, yang merupakan tradisi yang turun temurun dari masyarakat Jawa kuno, hingga kini masih banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Pada tarap tertentu bahkan dapat dikatakan bahwa tradisi ruwatan masih mendominasi struktur berpikir sebagian besar masyarakat Jawa, sehingga tradisi ini masih dilakukan dalam konteks mencegah maupun setelah terjadinya bencana.
Di Yogyakarta, praktek ruwatan masih banyak dilakukan oleh masyarakat muslim yang secara teologis kepercayaan terhadap Bathara Kala yang merupakan dasar dijalankannya praktek ruwatan bertolak belakang dengan struktur teologi Islam. Kepercayaan terhadap adanya dewa jahat yang bernama Bathara Kala yang dapat memberikan celaka terhadap kehidupan manusia, bertentangan dengan struktur teologi Islam yang meyakini bahwa hanya Allah yang mampu memberikan celaka maupun tidak bagi manusia. Masih dijalankannya tradisi ruwatan di sebagian kalangan muslim Yogyakarta merupakan hal yang menarik untuk diteliti, terutama untuk mengungkap makna ruwatan bagi masyarakat muslim Jawa dan nilai-nilai akulturasi antara Islam dan budaya Jawa dalam praktek ruwatan tersebut.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua hal:
Pertama
Observasi partisipasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dengan terlibat langsung terhadap obyek yang diteliti dan mencatat secara sistematik fenomena-fenomena yang akan diselidiki. Data yang akan diperoleh dengan metode ini adalah gambaran umum tentang persiapan upacara ruwatan, pelaksanaan upacara, penutupan upacara, serta peserta upacara.
Kedua
wawancara, yaitu menggali data dari informan secara lebih mendalam. Dengan menggunakan interview guide yang telah dipersiapkan, peneliti menemui informan penelitian, yaitu peserta dan dalang sebagai peruwat. Terhadap peserta ruwatan, pertanyaan yang akan diajukan seputar identitas peserta, latarbelakang mengikuti upacara ruwatan, tentang pendapatnya tentang Batara Kala, dan bagaimana mereka memaknai simbol-simbol yang terdapat dalam ruwatan. Sedangkan terhadap dalang, sebabagi pelaku ruwatan, akan ditanyakan seputar sejarah ruwatan, bagaimana mempelajari ilmu ruwatan, apa makna ruwatan bagi sang dalang, dan bagaimana sang dalang memaknai sesaji yang dijadikan dalam ruwatan dalam ruwatan.
Penelitian ini menemukan bahwa Bagi masyarakat Muslim Yogyakarta, ruwatan diartikan sebagai; Pertama
Media untuk membuang sial dari dalam diri mereka. Ruwatan merupakan bagian dari tradisi slametan di Jawa, sementara puncak dari acara slametan adalah ruwatan.
Kedua
Ruwatan merupakan media untuk menselaraskan energi positif dan membuang energi negatif.
Ketiga
Ruwatan diartikan sebagai tradisi melestarikan budaya leluhur.
Keempat
Ruwatan berarti sedekah kepada sesama.
Adapun ruwatan dilihat dari perspektif teologis masyarakat Yogyakarta, ditemukan bahwa;
Pertama
Ruwatan baik dalam bentuknya yang asli atau sudah terislamisasi adalah tradisi jawa (kejawen) yang mempunyai nilai-nilai kemusyrikan (syirik), sehingga harus dihapus dan dihilangkan.
Kedua
Ruwatan yang sudah diisi dengan nilai-nilai keislaman, seperti sedekah, pengajian, shalawatan, dzikiran, manaqiban, dan khataman adalah perbuatan Islami. dan diperbolehkan, tidak ada unsur syirik, khurafat, dan takhayulnya.
Ketiga
Ruwatan dalam bentuk aslinya yang masih percaya pada kekuatan Bhatara Kala dan adanya sukerto adalah bagian dari kekayaan budaya Jawa yang harus dilestarikan, karena merupakan cara sesepuh Jawa dahulu mendidik masyarakat menjadi lebih baik dan beradab.
Adanya akulturasi Islam dengan budaya Jawa pada ruwatan terlihat dalam ;
Pertama
penggunaan kain putih (mori) yang dipakai oleh peserta ruwatan.
Kedua
Ritual potong rambut yang dalam Islam disebut tahallul, yang disunahkan bagi para jama’ah haji dan anak kecil yang diakekahi.
Ketiga
Bacaan-bacaan dalam prosesi ruwatan yang menggunakan kata-kata basmalah, syahadat, tahlil dan hauqalah.
Keempat
Adanya sedekah (sesaji) dalam ruwatan yang sama seperti shadaqah dalam Islam.
Kelima
Tatacara ruwatan yang sudah bergeser dari bentuk aslinya dengan menggelar wayang semalaman dengan judul Murwakala (Batara Kala) menjadi pengajian, shalawatan, dzikiran, dan manaqiban.