Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pajak Tanah Di Lamongan Dianggap Banyak Menyengsarakan, Bukan Mensejahterakan

Minggu, 20 September 2015 | 19.55.00 WIB | 0 Views Last Updated 2015-09-20T12:59:23Z
LAMONGAN,(metropantura.com) - Lembaga Kajian Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) bersama Jaringan Masyarakat Lamongan menggelar dialog yang bertema "Pajak Tanah Kabupaten Lamongan Menyengsarakan" yang berlangsung di ruangan Sabha Nirbawa Pemkab Lamongan, Sabtu (19/9).

Menurut keterangan yang disampaikan Humas Panitia, M. Syaifudin, mengatakan dalam dialog tersebut dihadiri oleh narasumber dari Dispenda, Badan Pertanahan Nasional (BPN), akademisi, KPP Pratama, LSM, kepala desa, Notaris dan beberapa elemen masyarakat lainnya tersebut sempat memanas, lantaran para peserta menyikapi penerapan pengenaan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Lamongan, yang dinilai terlalu tinggi sehingga sangat meresahkan masyarakat.

Dalam dialog yang dihadiri sebanyak seratus peserta itu, salah satu LSM menuding bahwa keputusan Bupati Nomor 188/94/Kep/413.013/2015 tentang zona dan nilai pasar tanah sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB di Kabupaten Lamongan merupakan prodak yang cacat hukum.

“Bahwasanya surat keputusan ini belum disosialisasikan kepada masyarakat, dan surat keputusan ini ditetapkan begitu saja. Sehingga masyarakat Lamongan merasa disengsarakan dengan adanya perbup ini,” ungkapnya.

Tak hanya itu, bahkan badan pertanahan nasional (BPN) juga menjadi sasaran. Seperti yang diungkapkan Sulistiono, ia mengatakan bahwa pengurusan sertifikat tanah tidak ada transparansi waktu, sehingga masyarakat tida mengetahui kapan sertifikat tersebut selesai.

“pengurusan sertifikat tanah tidak ada transparansi waktu,” beber Sulis.

Ia juga menyinggung mengenai transparansi anggaran di BPN dan termasuk reformasi agraria hanya sebatas slogan, hingga saat ini belum ada realisasi pada masyarakat.

“reformasi agraria hanya gaung saja, tidak terealisasikan,” tambahnya.

Tidak hanya itu, pasca diterbitkannya perbup terjadi persoalan kalangan masyarakat. Peserta dari Kinameng Lamongan, Didit mengkritisi terkait banyaknya biaya yang harus dikeluarkan ketika akan mengurus sertifikat tanah.

Saat dirinya datang ke salah satu Notaris, ia dikenai biaya sebesar Rp. 8 juta, setelah itu dirinya diminta untuk memberikan biaya tambahan sebesar 15 juta. padahal nilai tanah yang akan dibuatkan sertifikat jika dijual nilainya dalam kisaran Rp. 60 hingga 70 juta.

“bukankah itu terlalu besar dan sangat memberatkan, ini merupakan sebuah ketidak adilan. Masak nilai jual tanahnya sekitar 60-70 juta, tapi biaya balik nama habis 40 juta” keluh Didit

Untuk itu, para peserta dialog menginginkan agar Perbup direvisi dan di sosialisasikan terlebih dahulu, atau bahkan dicabut. Pasalnya Perbup tersebut dinilai masih banyak klausul yang belum diatur, dan berdampak kesengsaraan pada masyarakat Lamongan.

Penulis  : M Zainuddin
Editor  : M Arief Budiman
×
Berita Terbaru Update