LAMONGAN,(metropantura.com) - Maraknya pungutan yang ditarik oleh pihak sekolah membuat sejumlah wali murid merasa keberatan dan terbebani. Pungutan yang berkedok sumbangan ini dilakukan oleh sebagian besar lembaga pendidikan negeri di Kabupaten Lamongan.
Salah seorang wali murid yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa anaknya yang sekolah di salah satu sekolah negeri di Lamongan ditarik iuran sebesar Rp. 135.000 per bulan dan pungutan lainnya sebesar Rp. 725.000 setahun. Beban wali murid bertambah ketika pihak sekolah menarik uang gedung sebesar Rp. 3.000.000.
"Banyak tarikan di sekolah anak saya. Mulai iuran tiap bulan hingga uang gedung. Katanya sekolah negeri gratis tapi kok malah banyak biayanya,”ungkapnya, Jum’at (18/9).
Wali murid tersebut tidak berdaya untuk menolak tarikan dari pihak sekolah karena kuatir anaknya nanti diperlakukan tidak baik oleh pihak sekolah. Karena itu dirinya hanya pasrah dan menuruti kemauan pihak sekolah.
“Gimana lagi wong keputusan komite dan kepala sekolah begitu. Kalau protes nanti anak saya gimana,”ujarnya.
Terkait maraknya pungli di sekolah-sekolah, menanggapi stetmen dari pak Sun’ah yang menyebutkan nama-nama seperti Pak Adi Suwito, Pak Kandam dan kabid TK SD. Kepala Dindik Lamongan, Bambang Kustiono, mengatakan bahwa bidang pengguna anggaran itu tidak hanya Bidang TK SD, Bidang Dikmenumjur dan PLS saja, Bidang PEP juga termasuk bidang teknis dan pengguna anggaran.
“Ya mestinya tidak harus begitu. jadi begini, disemua SKPD, saya selaku pengguna anggaran, tapi begitu besarnya, sehingga membutuhkan orang lain untuk penggunaan anggaran itu ada kuasa penggunaan anggaran di setiap ada pencairan. jadi disetiap pencarian yang bertugas adalah pak Adi, itu namanya kuasa anggaran. Lha semua anggaran tersebut ada di secretariat, dan di empat kepala bidangnya. Jadi semua itu yang mengelola anggaran tersebut, sehingga semuanya dinamakan teknis, kan gitu. Jadi dia punya program apa, kegiatan apa kan masing-masing bidang itu, Jelas Bambang Kustiono.
Bambang menambahkan bahwa apa yang dikatakan oleh Kabid PEP, Sun’ah, bahwa bidang yang dipimpinnya merupakan bidang teknis, Bambang mengakui bahwa beberapa statemen tersebut sebagai kurangnya pemahaman Sun’ah terhadap definisi bidang teknis.
“Mungkin pemahamannya yang tidak kesana, tapi kalau namanya bidang itu ya teknis. Ya mungkin perlu saya rajut kembali, mungkin ini hanya masalah komunikasi saja lah,”ujarnya.
Bambang juga menampik bahwa lembaga pendidikan yang menarik sumbangan bukanlah pungutan liar (pungli). Pungutan yang diadakan oleh pihak sekolah telah mendapat ijin dharma bakti.
Sedangkan sekolah gratis, lanjut Bambang, dana yang berasal dari pemerintah yang mjumlahnya sangat minim yang hanya bisa mencukupi kebutuhan dalam standar minimal . sedangkan untuk sekolah yang maju yang memiliki program yang banyak tentunya juga memerlukan dana yang besar juga. Anggaran dari pemerintah tidak akan mencukupi untuk melaksanakan program-program tersebut. Salah satu jalan untuk menutupi kekurangannya adalah dengan menarik dana dari dari wali siswa.
“Sekolah dinyatakan gratis itu gratis yang bagaimana dulu. Memang ada, dana dari pemerintah itu ada, tapi kan minim sekali sehigga itu hanya bisa utnuk kecukupan kebutuhan dalam standar minimal. Lha kita tahu bahwa setiap sekolah yang maju itu programnya kan banyak mas. Kalau tidak dibantu dari sumbangan wali murid apa bisa jalan?, ya dari sumbangan wali murid itu nanti bisa jalan,”jelasnya.
Bambang juga menampik lembaga pendidikan yang menarik sumbangan mengambil acuan perda. Sekolah mengajukan sumbangan dengan ijin kepada Bupati Lamongan dan besarnya sumbangan dikomunikasikan dengan komite skolah yang merupakan reperesentatif wali murid.
“bukan perda. Jadi perda itu adan karena perdanya itu merupakan itu paying hukumnya kan disitu. Lha sekolah mengajukan ijin kepada bupati mengenai sumbangan itu. Lha sedangkan besarnya sumbangan itu dikomunikasikan dengan komite sebagai representative wali murid, kan gitu. Kadang diditu juga terjadi tawar menawar sebelum akhirnya diputuskan dan disepakati dan dibentuk rekanan itu dan diajukan kepada bupati,”paparnya.
Ia mencontohkan SMPN 1 Lamongan dimana sekolah tersebut setiap ruangannya menggunakan AC untuk membentuk sekolah yang nyaman untuk siswanya. Kemudian jumlah komputernya juga sangat banyak sehingga akan berpengaruh terhadap jumlah tagihan listrik yang mencapai puluhan juta rupiah setiap bulannya.
“Sedangkan anggaran dari pemerintah sangat terbatas, apa bisa untuk membiayai semua itu” ungkapnya.
Terkait ada kepala sekolah yang meminta kepada wali murid melali surat bahkan ada yang dipanggil secara personal untuk meminta sumbangan uang gedung, Bambang menjelaskan bahwa sumbangan tersebut digunakan untuk pengembangan sekolah seperti membangun gedung baru dan masjid. Kalau hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah tentu tidak mencukupi sehingga perlu bantuan dari wali siswa.
“Itu kan untuk masuk di dalam SMAN, sekarang kalau itu tidak ada, mana bisa SMA 1 dan SMA 2 bisa membangun masjid sebesar itu. Dan gedung sekolah itu apa dibiayai pemerintah seluruhnya, enggak kan? Jadi pengembangan sekolah seperti itu dan bisa membangun ruang kelas baru, bangun ini itu kan tidak semuanya dibiayai pemerintah, maka dari itu dalam undang-undang sisdiknas dikatakan bahwa biaya pendidikan itu bisa dari pemerintah, swasta dan masyarakat,” paparnya
Sedangkan menurut Ispandoyo sumbangan yang diminta oleh lembaga pendidikan yang secara tegas menyebutkan nominal menjadi satu keresahan para wali murid. Sumbangan tersebut dinilai Ispandoyo keluar dari substansi tentang sumbangan bahkan terkesan pungli atau pemerasan.
Sumbangan yang terjadi disekolahan di Kabupaten Lamongan seharusnya diambil sikap tegas oleh pemerintah Kabupaten Lamongan, bukan sebaliknya melegalkan sumbangan yang digagas oleh lembaga pendidikan. Bentuk legalitas sumbangan yang dibuat oleh Pemkab Lamongan adalah dengan bentuk memberikan ijin dengan dibuatkan SK terhadap sekolahan yang melakukan pengumpulan sumbangan.
Pengumpulan sumbangan tersebut lebih didasarkan pada PERDA tentang pengumpulan sumbangan pendidikan dan bencana alam.
Keberadaan PERDA ini yang menjadi dasar terjadinya pungli dan atau pemerasan terhadap wali siswa. PERDA ini tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat umum tetapi lebih memihak kepada kelompok atau perorangan.
“Karena itu, Perda itu harus dicabut,”lanjut Ispandoyo.
Penulis : M Zainuddin
Editor : M Arief Budiman