Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Imbas Konflik Di Timur Tengah, Sebabkan Pengrajin Tenun Gulung Tikar

Senin, 18 April 2016 | 21.22.00 WIB | 0 Views Last Updated 2016-04-18T14:22:03Z
LAMONGAN,(metropantura.com) - Perajin tenun ikat di Desa Parengan Kecamatan Maduran terkena imbas konflik yang terjadi di timur tengah. Akibatnya omzet perajin tenun ikat turun drastis dan sebagian menutup usahanya. Perajin tenun ikat mengandalkan pasar hasil produksinya ke negara-negara Timur Tengah dibanding pasar dalam Negeri.

Ketua pengusaha dan pengrajin Lamongan (Kopela) Miftahul Khoiri, mengatakan perajin di Desa Parengan yang terimbas konflik di Timur Tengah karena produksi tenun ikat lebih berorientasi pada pasar luar negeri. Sehingga perajian tenun ikat menggunakan nama merk timur tengah dan masuk ke pihak eksportir.

“Kalau orang parengan selain saya masuk ke eksportir, tangan ketiga. Orang parengan sekarang KO karena orang timur tengah perang. Situasinya lagi rumit. Hampir 80 persen keluar semua, malah dalam negerinya 10 persen. Saya pakai merek sendiri, yang lain merk orang arab,”jelasnya, Senin (18/4).

Karena imbas konflik di Timur Tengah, banyak perajin tenun ikat yang menghentikan produksinya. Namun ada yang bertahan dan tetap berproduksi namun dalam skala yang kecil. Karyawannya yang semula bisa membuat tenun ikat 10 potong, kini hanya 3 potong.

“80 persen berhenti, 20 persen jalan. Banyak yang berhenti total, tinggal mengandalkan, istilahnya yang penting ada dijual untuk makan, mengidupi keluarga. Karyawannya yang biasanya mengerjakan 10 sekarang disuruh mengerjakan 3 saja,” ujarnya.

Sedangkan perajin tenun ikat yang mengandalkan pasar lokal seperti usaha milik Miftahul Khoiri sendiri, masih bisa bertahan dan tetap normal. Produk tenun ikat yang dipasarkan ke luar negeri hanya 25 persen sedangkan 75 persen untuk pasar domestik yang meliputi Kalimantan, kupang, mataram Bali, Sumatra, Lampung.

“Yang ke mancanegara 25 persen, yang 75 persen disleuruh Indonesia, mulai propinsi, kabupaten-kabupaten di Indonesia seperti Kalimantan,Kupang,Mataram, bali, sumatera dan Lampung,”terangnya.

Setiap bulannya, usaha kerajinan tenun ikat milik Miftahul Khoiri menghasilkan 1.800 potong kain tenun ikat dengan jumlah karyawan sebanyak 150 orang. Tenun ikat miliknya diberi label faradila yang berbeda dengan perajin tenun ikat lainnya yang menggunakan label Arab. Harga jual tenun ikat label faradila bervariasi mulai Rp. 125 ribu hingga Rp. 900 ribu.

Miftahul Khoiri dan perajin lainnya di Desa Parengan masih mempertahankan alat tradisional untuk membuat tenun ikat. Menurutnya sampai sekarang belum ada teknologi yang mampu membuat tenun ikat yang sama dengan hasil perajin di Parengan.

“kalau ke mesin memang sampai hari ini belum ada insinyur yang bisa merubah tenun yang mengarah ke ikat untuk dibuat mesin,”ujarnya

Kalau ada mesin yang bisa memproduksi tenun tetap akan lambat dan nilai produksinya juga tidak sebanding. Mesin hanya bisa digunakan untuk tenun yang polos dengan perbandingan 1 banding 30. 1 mesin bisa menghasilkan 30 sarung per hari sedangkan untuk membuat tenun dengan bahan tenun ikat hanya 1 sarung per hari.

”Andai bisa tetap lambat tidak bisa cepat. Mungkin biaya yang dikeluarkan nilai tambah produksinya tidak seberapa, paling 2 atau 3 kali lipat. Kalau tenun polos 1 banding 30. Tenun polos mesin 1 bisa 30 sarung perhari. Tapi kan kalau menggunakan bahan yang dipakai tenun ikat juga jualnya mahal,”bebernya.

Terkait modernisasi mesin tenun ikat, kasi sarana parasarana Disperidagkop, Choiruddin, mengatakan bahwa alat tradisional memiliki nilai tersendiri dan para perajin masih nyaman dengan alat tradisional tersebut.

“nilainya di alat tenun manualnya, misalnya nanti dimodernisasi ditakutkan menghilangkan itu. Dalam tenun ikat ini mereka masih nyaman dengan alat itu. Mash logis dilaksankaan dengan cara tradisional itu,”terangnya.

Penulis  : M Zainuddin
Editor  : M Arief Budiman
×
Berita Terbaru Update