*Mantan Kades Bantah Palsukan Tiga APHB*
LAMONGAN,(metropantura.com) - Kasus dugaan pemalsuan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) yang menyeret Sutrisno (56), mantan Kepala Desa (Kades) Bakalanpule Kecamatan Tikung Kabupaten Lamongan, kendati dilaporkan warganya sendiri ke Mapolres Lamongan beberapa hari lalu terus bergulir dan memantik perhatian.
Pasalnya, Sebagaimana informasi yang dihimpun dari Subandi (31) melalui via selulernya selaku pihak pelapor yang dirugikan dalam kasus tersebut mengaku bahwa besok Selasa (3/5), dirinya akan dipanggil oleh pihak Polres Lamongan untuk dimintai keterangan lebih lanjut atas laporannya.
Bahkan kepada awak media, Subandi mengatakan akan beberkan dugaan aksi pemalsuan tandatangan hingga (APHB) yang dilakukan sutrisno dikala ia masih menjabat sebagai kaur pembangunan saat itu hingga ia menjabat sebagai kepala desa selama ini.
“Besok saya dipangil lagi ke polres untuk dimintai keterangan lebih lanjut mas,” terangnya seraya beberkan adanya temuan bukti tambahan baru lebih detail yang dipegangnya untuk memperkuat berkas laporanya, Senin (2/5).
Sementara itu, Sutrisno mantan Kades Bakalanpule selaku pihak terlapor ketika dikonfirmasi melalui selulernya, Senin (2/5) terkait laporan warganya tentang kasus yang membelitnya itu justru berdalih bahwa pada waktu pembuatan Akta APHB tersebut dirinya hanya bertugas sebagai Kaur Pembangunan sehingga pada saat itu dirinya juga berstatus sebagai saksi untuk melaksanakan tugas yang diberikan Ahmad Roziq selaku Kepala Desa waktu itu.
“Ya sebetulnya salah sih mas, waktu itu kan saya belum menjabat sebagai kepala desa dan kepala desanya waktu itu pak Roziq sehingga saya masih menjadi Kaur Pembangunan. Terus saya kan seorang saksi saja untuk melaksanakan tugas dari Kepala Desa waktu itu,”elak Sutrisno.
Tak hanya itu, bahkan Ia pun membantah jika Akta APHB tersebut dikatakan palsu karena menurutnya, kedua belah pihak sudah membubuhkan tanda tangan pada Akta tersebut.
“Terus kalau dikatakan pemalsuan itu ya kurang sesuai, karena kedua belah pihak itu kan sudah tanda tangan. Terus orang tuanya mas bandi dimintai tanda tangan dikasih Rp. 50.000 kemudian tak tambahi seratus ribu. Itupun juga di jadi, berarti kan sudah ikhlas memberi tanda tangan (cap jempol.red),”kilahnya.
Selain itu, Sutrisno juga berdalih bahwa dirinya tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pihak manapun untuk melakukan tanda tangan tersebut. bahkan ia menuding bahwa pelaporan dirinya ke Polres, mengandung unsur politik.
“Kalau soal pemaksaan insya allah tidak, soalnya saya juga nggak berani mas. Sebenarnya saya tidak terima saya dilaporkan. Soalnya tidak sama dengan keadaannya, yang jelas itu salah kalau saya dilaporkan itu. Tapi kalau nanti saya dipanggil ya saya ngomong apa adanya saja. Penerbitannya itu kan tahun 2005 pada waktu dijabat pak kades yang dulu. Jabatan saya itu kan hingga 2015 bulan April akhir, jadi kayaknya ada untur politik-politiknya supaya saya tidak bisa maju untuk mencalonkan lagi,” tuding Sutrisno.
Sementara itu, Kabag Humas Polres Lamongan, Ipda raksan membenarkan bahwa pihaknya akan memanggil Subandi selaku pelapor untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
“Besok rencananya kita akan panggil pelapor untuk dimintai keterangan lebih lanjut serta melengkapi pemberkasan lainya yang dianggap perlu oleh penyidik Dan untuk selanjutnya, pihak terlapor Sutrisno mantan Kades Bakalanpule akan kami panggil juga untuk dilakukan penyidikan dan penyelidikan atas laporan warganya yang merasa dirugikan itu,” ucap Raksan singkat.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, bahwa kejadian tersebut terjadi pada Rabu 23 Februari 2005 silam, namun kejanggalan tersebut baru diketahui Subandi pada akhir tahun 2015 lalu tepatnya bulan Desember saat dirinya menerima APHB tersebut dari staf Kecamatan Tikung.
Dalam APHB yang masing-masing dengan nomor 07/TKO/11/2005, 08/TKO/11/2005, dan 09/TKO/11/2005 tersebut terdapat tanda tangan atas nama saksi Jayus (48) yang telah dipalsukan.
Dari kejanggalan temuan data tersebut muncul dugaan kuat bahwa peralihan tersebut tidak pernah terjadi. Pasalnya, Djum (almarhum) yang tak lain adalah Ibu kandung Subandi tidak pernah melakukan legalisasi dalam bentuk Cap Jempol seperti yang tertera pada Akta tersebut melainkan menggunakan tanda tangan pada umumnya.
Atas kejadian tersebut, Subandi yang merupakan ahli waris dari Ny Djum (almarhum) merasa dirugikan dan melaporkan kejadian tersebut ke Mapolres Lamongan beberapa hari lalu.
Penulis : M Zainuddin
Editor : M Arief Budiman